KONSERVASI LAWANG SEWU, SEMARANG dan KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA

KONSERVASI LAWANG SEWU, SEMARANG

Lawang Sewu merupakan sebuah gedung di Semarang, Jawa Tengah yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.

Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).

Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.

Saat ini bangunan tua tersebut telah mengalami tahap konservasi dan revitalisasi yang dilakukan oleh Unit Pelestarian benda dan bangunan bersejarah PT Kereta Api Persero.

SEJARAH LAWANG SEWU

Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda, pada 27 Februari 1904. Awalnya bangunan tersebut didirikan untuk digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau Kantor Pusat Perusahan Kereta Api Swasta NIS. Sebelumnya kegiatan administrasi perkantoran NIS dilakukan di Stasiun Samarang NIS. Namun pertumbuhan jaringan perkeretaapian yang cukup pesat, dengan sendirinya membutuhkan penambahan jumlah personel teknis dan bagian administrasi yang tidak sedikit seiring dengan meningkatnya aktivitas perkantoran. Salah satu akibatnya kantor pengelola di Stasiun Samarang NIS menjadi tidak lagi memadai. NIS pun menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai jalan keluar sementara. Namun hal tersebut dirasa tidak efisien. Belum lagi dengan keberadaan lokasi Stasiun Samarang NIS yang terletak di kawasan rawa-rawa hingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting. Kemudian diputuskan untuk membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal). NIS mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Negeri Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangi di Amsterdam tahun 1903.

 

KONSERVASI BANGUNAN LAWANG SEWU

Konservasi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menghambat atau melindungi bangunan dari pengaruh penyebab kerusakan lebih lanjut sehingga dapat memperpanjang usia bangunan. Bidang konservasi mempunyai tugas yang penting dalam pemugaran bangunan cagar budaya yaitu sejak sebelum pemugaran, pelaksanaan pemugaran dan setelah pemugaran selesai. Di dalam studi  pemugaran gedung Lawang Sewu ini, bidang konservasi melaksanakan pekerjaan observasi kerusakan bahan bangunan, rencana penanganan termasuk bahan konservasi yang digunakan.

KERUSAKAN BAHAN BANGUNAN

Observasi bahan bangunan gedung Lawang Sewu dilakukan secara detail bagian per bagian, ruang per ruang, jenis bahan yang digunakan mulai dari fondasi, lantai, dinding, pintu, jendela, plafon sampai atap bangunan.

Kerusakan berdasarkan hasil observasi adalah sebagai berikut :

Kerusakan mekanis

Kerusakan mekanis disebabkan faktor konstruksi dan struktur bangunan itu sendiri maupun faktor dari luar. Kerusakan jenis ini banyak dijumpai pada lantai (tegel keramik banyak yang lepas, retak dan pecah)

Kerusakan fisis

Jenis kerusakan ini disebabkan oleh faktor eksternal seperti angin, hujan dan terik matahari. Hampir seluruh komponen bangunan tembok Lawang Sewu dari lantai 1 sampai 3 mengalami kerusakan yang disebabkan oleh faktor ini sehingga tampak aus, rapuh, kusam dan mengelupas. Selain itu komponen bahan bangunan dari kayu seperti pintu, jendela, kayu blandar dan sebagainya juga rentan rusak akibat faktor ini.

Kerusakan khemis

Kerusakan ini terutama disebabkan oleh air hujan yang mengakibatkan oksidasi terutama pada bahan bangunan yang terbuat dari besi atau seng. Lambat laut bahan bangunan tersebut akan hancur apabila tidak segera ditangani secara tepat.

Kerusakan bio khemis

Pengamatan selama studi dijumpai bahwa pada atap bangunan gedung Lawang Sewu banyak dihuni kelelawar. Kotoran kelelawar yang berserakan di lantai atau pada plafon bangunan apabila dalam kondisi lembab akan bereaksi dengan H2O. Sulfat yang terkandung dalam kotoran kelelawar akan berubah menjadi H2So4yang mengakibatkan mempercepat kerusakan bahan-bahan bangunan yang terbuat dari besi, kayu dan spesi tembok. Kerusakan bio khemis lainnya terdapat pada papan-pan kayu hiasan.

http://satriandhika.blogspot.co.id/2015/04/konservasi-bangunan-bersejarah-di-jawa.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Lawang_Sewu

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA

Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan karya arsitektur yang bernilai tinggi dari segi kesejarahan maupun arsitekturalnya, terutama peninggalan bangunan bergaya jaman kolonial Belanda. Peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda di Yogyakarta antara lain berupa: bangunan-bangunan benteng, perkantoran dan kawasan perumahan. Salah satu peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda yang terkenal di Yogyakarta adalah kawasan perumahan Kotabaru. Selain kekhasan secara fisik, terdapat aspek kesejarahan yang menjadikan kawasan Kotabaru menjadi kawasan yang khusus dalam hubungannya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kekhasan kawasan Kotabaru terlihat secara visual sangat terasa berbeda dengan sebagian besar kawasan-kawasan di Yogyakarta yang lain. Bila kawasan-kawasan di pusat kota lain cenderung tampilan visualnya didominasi oleh wajah bangunan, tidak demikian halnya dengan kawasan Kotabaru. Pepohonan yang rindang di bagian depan bangunan dan ruang-ruang tepi jalan mendominasi karakteristik visual kawasan ini. Cakupan wilayah yang relatif luas dan fungsi-fungsi bangunan di kawasan ini, terutama di masa awal pembentukannya, menjadikan masyarakat sering menyebut kawasan Kotabaru dirancang dengan inspirasi konsep Garden City. Bila diperhatikan dengan seksama pada awal keberadaannya, kawasan perumahan atau perkampungan di Yogyakarta berkembang bersama-sama dengan perkembangan pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkampungan yang ada, pada awal berdirinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perkampungan untuk kaum pribumi dan untuk orang asing (orang eropa dan “orang kulit putih” lainnya). Perkampungan untuk kaum pribumi di luar keraton dimulai dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asrama para anak buah angkatan perang dan para perwiranya. Perumahan untuk orang asing (Belanda) di Yogyakarta dimulai dengan ijin berdirinya benteng Vredeburg. Selanjutnya beberapa daerah di Yogyakarta diperkenankan berdiri tempat tinggal untuk orang kulit putih atau Eropa. Daerah-daerah tersebut mulai dari kawasan Loji Kecil, yang berada di sekitar Benteng Vredeburg. Berkembangnya jumlah orang Eropa yang masuk ke sekitar wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memerlukan tempat tinggal untuk bermukim. 2 Ditinjau dari sisi sejarah, kawasan tempat tinggal bagi orang Eropa di sekitar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai dari kawasan Loji Kecil, meluas ke jalan Setyodiningratan, Kampung Bintaran, kampung Jetis hingga terakhir di Kota Baru (Darmosugito, 1956). Cornelis Canne sebagai residen saat itu meminta ijin pada Sri Sultan Hamengku Buwana VII agar diperbolehkan menggunakan lahan di sebelah utara kota guna tempat permukiman khusus orang Eropa. Hal ini dilakukan karena jumlah orang Eropa semakin banyak dan Kawasan Bintaran juga semakin sesak. Lahan yang tersedia tersebut berada di sebelah timur Sungai Code (di lahan yang disewa oleh perkebunan tebu Muja-Muju), yang akhirnya dibangun sebagai kawasan permukiman bernama nieuwe wijk (Bruggen & Wassing, 1998 dalam Wahyu, 2011). Kawasan Kota Baru merupakan kawasan perumahan bagi orang Belanda yang dibangun setelah Perang Dunia I, atau pada akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII yaitu tahun 1877 – 1921. Kawasan ini merupakan kawasan yang benarbenar baru dibangun terpisah dari Kota Yogyakarta lama.

Sebagaimana dinyatakan dalam Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta 1917, No. 12; 107-108 (Wahyu, 2011), pelaksanaan pembangunan Kawasan Kotabaru ini diatur secara rinci. Dokumen tersebut berisi tentang pemberian lahan beserta wewenangnya agar dapat didirikan bangunan, jalan, taman beserta perawatannya dengan ketentuan yang diatur oleh pihak kasultanan. Penggunaan lahan tersebut dibebani pajak dan uang Gambar 1: Peta Kawasan Kotabaru terhadap Kotamadya Yogyakarta (Sumber: Kristiawan, 2013) Kraton sebagai pusat Kota Lama Yogyakarta 3 sewa agar kasultanan juga mendapat keuntungan. Penggunaan tanah ditangani oleh sebuah komisi yang diberi nama Komisi Penggunaan Tanah (Comissie van Grondbedrijf) yang mendapat uang muka penggunaan dari kasultanan dengan bunga 5% per tahun. Anggota-anggota komisi ini ditentukan oleh Pihak kasultanan dan karesidenan. Sebagai pelaksana proyek pembuatan kawasan adalah Departemen van Sultanaat Werken, yang diketuai oleh Ir. L.V.R. Biileveld. Periode penting yang dilalui kawasan Kotabaru dalam perkembangannya terjadi sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan dan setelah kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan kawasan Kotabaru melewati masa Penjajahan Belanda dan masa Penjajahan Jepang. Masa Penjajahan Belanda merupakan awal berdirinya kawasan perumahan Kotabaru yaitu tahun 1920, yang dibangun Belanda untuk perumahan khusus bagi bangsa Eropa. Mereka bekerja di bidang pemerintahan dan sektor perkebunan. Masuknya bangsa Jepang menjajah Indonesia, membuat kawasan Kotabaru dialihtangankan pengelolaannya ke tangan Jepang. Oleh banga Jepang Kawasan Kotabaru dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran, perumahan, tangsi dan gudang. Walaupun dilakukan perubahan fungsi pada bangunan, namun tidak dilakukan perubahan fisik bangunan yang signifikan. Periode kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terhadap kawasan Kotabaru tidak berakibat pada perubahan pada fisik bangunan, namun terjadi peristiwa-peristiwa penting bagi perjuangan kemerdekaan yang terjadi. Peristiwa penting yang terjadi kawasan Kotabaru masa kemerdekaan dikenal dengan peristiwa “Pertempuran Kotabaru”. Tepatnya terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945, yang berawal dari kegiatan pelucutan senjata tentara Jepang oleh kaum pemuda yang tidak menemui titik temu sehari sebelumnya. Hal ini berakibat meletusnya pertempuran dengan tentara Jepang pada tanggal tersebut. Terdapat 21 orang pemuda Indonesia yang gugur dan 360 tentara Jepang yang ditawan (Wahyu, 2011). Akibat secara fisik peristiwa “Pertempuran Kotabaru” terhadap kawasan Kotabaru terjadi sesudahnya, yaitu pada masa setelah kemerdekaan dengan dibangunnya monumen-monumen untuk mengenang peristiwa tersebut. Setelah masa kemerdekaan perubahan secara fisik sangat mencolok terjadi di kawasan Kotabaru, terutama setelah tahun 1997. Hal ini terjadi setelah mulai berubahnya fungsi bangunan rumah tinggal menjadi fungsi lainnya. Fungsi baru yang 4 mengubah fungsi rumah tinggal di kawasan Kotabaru terutama adalah fungsi bangunan komersial (toko, dan restoran), fungsi bangunan perkantoran, fungsi bangunan kesehatan dan fungsi bangunan pendidikan. Kawasan perumahan Kota Baru Yogyakarta secara administratif termasuk Kecamatan Gondokusuman, Kelurahan Kotabaru, Kotamadya Yogyakarta. Secara umum warga Yogyakarta mengenal kawasan Kotabaru sebagai sebuah kawasan perumahan dengan ciri bangunan jaman kolonial Belanda. Kawasan yang pada jaman penjajahan Belanda termasuk kawasan perumahan elit yang hanya diperuntukkan bagi warga Belanda. Melalui penelusuran jejak yang ada dan berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat, yang dimaksud dengan kawasan Kotabaru selain bercirikan bangunan langgam jaman Kolonial Belanda batasan wilayahnya meliputi: a. Batas sisi Utara : Jl Jend. Sudirman b. Batas sisi Selatan : Rel Kereta Api – Stasiun Lempuyangan c. Batas sisi Timur : Jl Dr Wahidin d. Batas sisi Barat : Sungai Code

Bebagai usaha telah dilakukan untuk melindungi kawasan Kotabaru sehingga citra kawasannya tetap terjaga sehingga tetap dapat mendukung kesejarahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Usaha tersebut antara lain dengan ditetapkannya kawasan Gambar 2. Kawasan Perumahan Kota Baru Yogyakarta – 1990 (Sumber: (Kristiawan, 2013)) Batas Wilayah Kawasan Kotabaru Sunga Code Stasiun Lempuyanga Jl Dr Wahidin Jl Jend. Sudirman 5 Kotabaru sebagai Kawasan Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini tertuang dalam Perda DIY No 6 Tahun 2012, Tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Disebutkan dalam perda tersebut bahwa panduan arsitektur bangunan baru pada kawasan Cagar Budaya Kotabaru ditetapkan memakai gaya arsitektur Indis dan Kolonial. Melalui Perda DIY No 6 Tahun 2012, diharapkan tetap terjaga kelestarian kawasan Kotabaru terutama aspek fisiknya, yang meliputi lingkup kawasan dan spasial yang lebih kecil yaitu lingkup bangunan. Karakteristik kawasan yang kuat terletak pada struktur kawasan yang berpola radial dan ruang terbuka hijau yang luas. Bila memasuki kawasan Kotabaru akan didapat suasana berbeda dengan kawasan Yogyakarta lainnya yang kebanyakan masih tertata mengikuti arah mata angin. Pohon-pohon besar, tanaman ditaman dan tanaman buah banyak terdapat di kawasan ini. Area hijau yang luas terdapat di kawasan Kotabaru yang dilengkapi boulevard dan ruas jalan yang cukup lebar dengan pepohonan di kiri dan kanannya.

Secara arsitektural karakteristik arsitektural bangunan jaman kolonial Belanda marupakan karakteristik ekspresi bangunan yang dominan di kawasan Kotabaru Yogyakarta. Karakteristik tersebut terdapat secara spesifik pada aspek skala yang cenderung lebih besar, proporsi kepala-badan-kaki bangunan, permukaan dan prinsipprinsip desainnya. Antara bangunan satu dengan bangunan lain memiliki ciri khas berupa ruang terbuka hijau yang sebelumnya ditanami pepohonan atau berupa taman.

Klik untuk mengakses KAWASAN_CAGAR_BUDAYA_KOTABARU1.pdf

Konservasi Arsitektur di Jakarta dan Jawa Barat

PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN BANGUNAN KUNO DI KAWASAN PEKOJAN JAKARTA

Pekojan yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya Kota Jakarta.  Kawasan Pekojan pada era Kolonial Belanda lebih dikenal sebagai kampung Arab. Sebelum ditetapkan sebagai kampung Arab pada abad ke-18 oleh Pemerintah Hindia Belanda, Pekojan merupakan tempat tinggal warga Koja (Muslim India). Mayoritas penduduk yang berdagang dan bermukim di kawasan ini adalah orang India, sehingga dinamakan Pekojan yang berarti tempat tinggal orang Koja.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Benda Cagar Budaya menyebutkan bahwa di Kawasan Pekojan terdapat 16 buah bangunan yang dilindungi, berupa masjid dan rumah tinggal berlanggam Cina yang dibangun pada abad ke-17 hingga ke-19.

Gejala penurunan kualitas dapat dengan mudah diamati pada fisik kawasan kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tua tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin, 2000). Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan. Menurunnya kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau menimbulkan dampak antara lain sering terjadinya banjir, tingginya polusi udara, meningkatnya kriminalitas, menurunnya produktivitas masyarakat (Konsep Ruang Terbuka Hijau Perkotaan, 2008).

Kawasan Pekojan kini termasuk ke dalam kawasan yang mengalami gejala penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan di Kawasan Pekojan terlihat dari menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau dan penurunan tingkat aksesibilitas. Berdasarkan pengamatan awal, penurunan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di Kawasan Pekojan terlihat dari luasan ruang terbuka hijau yang berkurang dari 10% (3,8 km2) pada tahun 1960-an hingga kurang dari 1% (0,3 km2) pada tahun 2008. Sebagian besar ruang terbuka hijau yang ada dikonversi menjadi jalan raya, dan permukiman baru.

Penurunan tingkat aksesibilitas kawasan juga mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan bersejarah. Hambatan sirkulasi kendaraan di Kawasan Pekojan terjadi di Jl. Pekojan Raya, Jl. Pekojan I, Jl. Pejagalan Raya, dan Jl. Pejagalan I.

Penurunan kualitas lingkungan bersejarah juga ditandai dengan rusaknya beberapa bangunan kuno di Kawasan Pekojan. Menurut pengamatan tahun 2007, sekitar 75% dari 16 bangunan cagar budaya yang ada di Kawasan Pekojan dalam kondisi rusak dan tidak terawat. Bangunan-bangunan yang rusak tersebut dikhawatirkan akan segera hancur jika tidak ada upaya pemugaran kawasan. Upaya pemugaran perlu dilakukan guna melindungi dan mempertahankan bangunan kuno yang menjadi ciri khas dan mencerminkan karakter Kawasan Pekojan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dibutuhkan suatu kajian mengenai faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan bangunan di Kawasan Pekojan Jakarta. Penelitian berjudul ”Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan Jakarta” akan mencakup aspek historis kawasan, karakteristik lingkungan, karakteristik bangunan kuno, pengukuran kualitas lingkungan dan bangunan kuno, faktor-faktor penyebab penurunan kualitas lingkungan dan bangunan kuno, serta arahan pelestarian dalam melindungi dan mempertahankan lingkungan dan bangunan kuno di Kawasan Pekojan.

2

Gambar 1. Bangunan kuno yang mengalami degradasi

 

  1. Karakter dan Kualitas Lingkungan dan Bangunan Kuno di Kawasan Pekojan Sejarah Kawasan Pekojan

Pekojan merupakan salah satu kampung tua di Kota Jakarta. Kampung Pekojan terletak di sebelah barat Pusat Kota Batavia (Kawasan Kota kini), berdampingan dengan lahan pertanian (Gambar 2.).

1

Gambar 2. Lokasi Kampung Pekojan pada peta Batavia tahun 1740

 

Kata Pekojan berasal dari kata “Koja” yang mengaju pada nama sebuah tempat di India. Penduduk Koja di India pada umumnya adalah orang yang senang berdagang sekaligus menyiarkan agama Islam ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Batavia. Para pedagang dari Koja yang merantau ke Batavia bermukim di kawasan ini. Kawasan ini kemudian dinamakan Pekojan, yang berarti tempat tinggal orang-orang Koja. Selain, para pendatang dari India, Pekojan juga dihuni oleh pendatang dari Yaman Selatan. Para pendatang yang berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan), oleh Pemerintah Hindia Belanda diwajibkan lebih dulu tinggal di Kawasan Pekojan. Setelah menetap beberapa lama di Pekojan, barulah para pendatang kemudian menyebar ke berbagai daerah di Batavia.

Pada abad ke-18, Kawasan Pekojan didominasi oleh warga keturunan Arab dan India. Tetapi kemudian, selama masa migrasi orang-orang dari Hadramaut, populasi Mulim Arab di Pekojan meningkat. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-18 kemudian menetapkan Kawasan Pekojan sebagai Kampung Arab.

Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, warga Muslim Arab tidak hanya diwajibkan untuk tinggal di Pekojan, tetapi mereka juga harus memiliki passport (surat ijin) untuk meninggalkan kawasan ini, yang dinamakan sistem wijken-en passen stelsen. Selain itu, para pria diwajibkan memakai pakaian yang menjadi identitas kaum Muslim Arab, seperti penutup kepala pada kaum laki-laki

Karakter bangunan kuno

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993 menetapkan bahwa di Kawasan Pekojan terdapat 16 buah bangunan cagar budaya yang dilindungi, terdiri dari 4 buah masjid kuno dan 12 buah rumah berlanggam Cina. Bangunan cagar budaya berupa masjid kuno, yaitu Masjid Annawier, Langgar Tinggi, Masjid Jami Al Anshor, dan Masjid Kampung Baru. Sedangkan 12 buah bangunan cagar budaya berupa rumah tinggal, yaitu terletak di Jl Pekojan Raya No, 38, 45, 46, 47, 54, 55, 60, 61, 71, 86, dan 87. Masing-masing dari bangunan cagar budaya memiliki nilai historis tersendiri dan menggambarkan wujud Kawasan Pekojan pada masa lampau.

          Karakter bangunan berdasarkan usia bangunan menunjukkan bahwa 24 bangunan kuno (35%) memiliki usia antara 70-80 tahun. Bangunan kuno tertua, yaitu berusia lebih dari 100 tahun berjumlah 17 bangunan (24%). Adapun persebaran bangunan kuno berdasarkan usia dapat dilihat pada Gambar 3.

5

Gambar 3. Bangunan kuno berdasarkan usia

Status kepemilikan bangunan kuno di Kawasan Pekojan dibagi menjadi 4, yaitu hak milik, hak guna bangunan, milik pemerintah, dan wakaf. Sebanyak 57 bangunan (82%) merupakan hak milik, 6 bangunan (9%) merupakan hak guna bangunan, 6 bangunan mrupakan wakaf (9%), dan 1 bangunan (1%) milik pemerintah (Gambar 4.).

6

Gambar 4. Status kepemilikan bangunan kuno

 

KONSERVASI BANGUNAN BERSEJARAH DI JAWA BARAT

Gedung Merdeka di jalan Asia-Afrika, Bandung, Indonesia, adalah gedung bersejarah  yang pernah digunakan sebagai tempat Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika tahun 1955. Kini gedung ini digunakan sebagai museum yang memamerkan berbagai benda koleksi dan foto Konferensi Asia-Afrika yang merupakan cikal bakal Gerakan Non Blok pertama yang pernah digelar disini tahun 1955.

7

Gambar 1. Peta Lokasi Museum KAA Bandung

SEJARAH MUSEUM KAA BANDUNG

8

Gambar 2. Gedung Merdeka pada 1955

 

Pada saat itu bangunan ini bernama SOCITEIT CONCORDIA dipergunakan sebagai tempat rekreasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang cukup kaya. Pada hari libur, terutama malam hari, gedung ini dipenuhi oleh mereka untuk menonton pertunjukan kesenian, makan malam.

Pada masa pendudukan Jepang gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.

Pada masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945 gedung ini digunakan sebagai markas pemuda Indonesia guna menghadapi tentara Jepang yang pada waktu itu enggan menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia. Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk (1946 – 1950) yang ditandai oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara Pasundan, dan Recomba Jawa Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung pertemuan umum. disini biasa diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya.

Dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia (1954) yang menetapkan Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Concordia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut. Pada saat itu Gedung Concordia adalah gedung tempat pertemuan yang paling besar dan paling megah di Kota Bandung . Dan lokasi nya pun sangat strategis di tengah-tengah Kota Bandung serta dan dekat dengan hotel terbaik di kota ini, yaitu Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Dan mulai awal tahun 1955 Gedung ini dipugar dan disesuaikan kebutuhannya sebagai tempat konferensi bertaraf International, dan pembangunannya ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat yang dimpimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso, dan pelaksana pemugarannya adalah : 1) Biro Ksatria, di bawah pimpinan R. Machdar Prawiradilaga 2) PT. Alico, di bawah pimpinan M.J. Ali 3) PT. AIA, di bawah pimpinan R.M. Madyono.

Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante. Karena Konstituante dipandang gagal dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu menetapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara, maka Konstituante itu dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960. Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian muka gedung tersebut.

Pada tahun 1965 di Gedung Merdeka dilangsungkan Konferensi Islam Asia Afrika. Pada tahun 1971 kegiatan MPRS di Gedung Merdeka seluruhnya dialihkan ke Jakarta . Setelah meletus pemberontakan G30S/ PKI, Gedung Merdeka dikuasai oleh instansi militer dan sebagian dari gedung tersebut dijadikan sebagai tempat tahanan politik G30S/ PKI. Pada bulan Juli 1966, pemeliharaan Gedung Merdeka diserahkan oleh pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat, yang selanjutnya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat diserahkan lagi pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung. Tiga tahun kemudian, tanggal 6 Juli 1968, pimpinan MPRS di Jakarta mengubah surat keputusan mengenai Gedung Merdeka (bekas Gedung MPRS) dengan ketentuan bahwa yang diserahkan adalah bangunan induknya, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di bagian belakang Gedung Merdeka masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS.

Pada Maret 1980 Gedung ini kembali dipercayakan menjadi tempat peringatan Konferensi Asia Afrika yang ke-25 dan pada Puncak peringatannya diresmikan Museum Konferensi Asia Afrika oleh Soeharto Presiden Republik Indonesia – 2.

9

Gambar 3. Ruang Konferensi di gedung Merdeka pada 2010

ARSITEKTUR GEDUNG KAA

Bangunan ini dirancang oleh Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah Guru Besar pada Technische Hogeschool (Sekolah Teknik Tinggi), yaitu ITB sekarang, dua arsitektur Belanda yang terkenal pada masa itu, Gedung ini kental sekali dengan nuansa art deco dan gedung megah ini terlihat dari lantainya yang terbuat dari marmer buatan Italia yang mengkilap, ruangan-ruangan tempat minum-minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout, sedangkan untuk penerangannya dipakai lampu-lampu bias kristal yang tergantung gemerlapan. Gedung ini menempati areal seluas 7.500 m2.

9i

Gambar 4. Nuansa Arc deco pada gedung KAA

RUANG LINGKUP MUSEUM KAA BANDUNG

  1. PAMERAN TETAP
    Museum Konperensi Asia Afrika memiliki ruang pameran tetap yang memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Selain itu dipamerkan juga foto-foto mengenai :
  • Peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konferensi Asia Afrika;
  • Dampak Konferensi Asia Afrika bagi dunia internasional;
  • Gedung Merdeka dari masa ke masa;
  • Profil negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika yang dimuat dalam multimedia.

Dalam rangka menyambut kunjungan Delegasi Konferensi Tingkat Tinggi X Gerakan Nonblok tahun 1992 di mana Indonesia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut dan menjadi Ketua Gerakan Nonblok, dibuatlah diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Penataan kembali Ruang Pameran Tetap “Sejarah Konperensi Asia Afrika 1955”
Dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 2005 dan Peringatan 50 Tahun Konferensi Asia Afrika 1955 pada 22 – 24 April 2005, tata pameran Museum Konperensi Asia Afrika direnovasi atas prakarsa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda. Penataan kembali Museum tersebut dilaksanakan atas kerja sama Departemen Luar Negeri dengan Sekretariat Negara dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh Vico Design dan Wika Realty.

Rencana Pembuatan Ruang Pameran Tetap “Sejarah Perjuangan Asia Afrika” dan Ruang Identitas Nasional Negara-negara Asia Afrika (2008)
Departemen Luar Negeri RI mempunyai rencana untuk mengembangkan Museum Konperensi Asia Afrika sebagai simbol kerja sama dua kawasan dan menjadikannya sebagai pusat kajian, pusat arsip, dan pusat dokumentasi. Salah satu upayanya adalah dengan menambah beberapa ruang pameran tetap, yang memamerkan sejumlah foto dan benda tiga dimensi mengenai Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (New Asian African Strategic Partnership/NAASP) serta berbagai materi yang menggambarkan budaya dari masing-masing negara di kedua kawasan tersebut.

Pengembangan museum ini direncanakan terwujud pada April 2008, bertepatan dengan Peringatan tiga tahun Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika.

  1. PERPUSTAKAAN
    Untuk menunjang kegiatan Museum Konperensi Asia Afrika, pada 1985 Abdullah Kamil (pada waktu itu Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di London) memprakarsai dibuatnya sebuah perpustakaan.

Perpustakaan ini memiliki sejumlah buku mengenai sejarah, sosial, politik, dan budaya Negara-negara Asia Afrika, dan negara-negara lainnya; dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya; serta majalah dan surat kabar yang bersumber dari sumbangan/hibah dan pembelian.

Bersamaan dengan akan diperluasnya ruang pameran tetap Museum Konperensi Asia Afrika pada April 2008, perpustakaan pun akan dikembangkan sebagai pusat perpustakaan Asia Afrika yang proses pengerjaannya dimulai pada 2007. Perpustakaan ini diharapkan akan menjadi sumber informasi utama mengenai dua kawasan tersebut, yang menyediakan berbagai fasilitas seperti zona wifi, bookshop café, digital library, dan audio visual library.

  1. AUDIO VISUAL
    Seperti juga perpustakaan, ruang audio visual dibuat pada 1985. Keberadaan ruang ini juga diprakarsai oleh Abdullah Kamil.

Ruangan ini menjadi sarana untuk penayangan film-film dokumenter mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an, Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-film mengenai kondisi sosial, politik, dan budaya dari negara-negara di kedua kawasan tersebut.

9ii

Gambar 5. Denah Museum KAA

TAHAP PEMUGARAN

Museum KAA diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, sebagai puncak peringatan 25 tahun KAA. Saat ini Museum KAA berada di bawah Kementerian Luar Negeri, menjadi UPT dari Direktorat Diplomasi Publik. Museum KAA menempati Gedung Merdeka, yang hingga saat ini menjadi milik DPR/MPR, dan berada di bawah pengawasan Sekretariat Negara. Pengelolaan gedung tersebut di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Museum KAA memamerkan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

9iii

Gambar 6. Gedung KAA pada masa kini

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/7269774/Pelestarian_Lingkungan_dan_Bangunan_Kuno_di_Kawasan_Pekojan_Jakarta

http://satriandhika.blogspot.co.id/2015/03/konservasi-bangunan-bersejarah-di-jawa.html